Rabu, 16 Juni 2010

Pemilu Kada Manggarai, Replikasi Karakter Orde Baru?

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi,
Staf Pengajar STKIP St. Paulus Ruteng


Jelang Pemilu Kada, pada 01 Juni 2010, Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi (LPKD) bekerja sama dengan Radio FM Lumen 2003 menyelenggarakan dialog Publik, apa yang menjadi fokus dalam diskusi itu?

LPKD melakukan pendidikan politik dalam aras Pencerdasan Politik dengan menghadirkan narasumber nasional Boni Hargens dan Rm. Max Regus Pr. Yang kami bangun adalah sebuah upaya untuk membantu masyarakat pemilih menggunakan hak pilihnya secara benar. Penyadaran ini perlu untuk mendisposisikan kembali nilai yang paling hakiki dari demokratisasi yakni pembangunan yang memihak kepada masyarakat dan penggunaan kekuasaan secara arif untuk orientasi kesejahteraan bersama.

Benarkah ada pihak yang merasa terganggu dengan dialog itu?

Kami tidak bisa memastikannya. Tetapi sementara dialog berlangsung ada yang mengaku anggota Panwaslu datang meminta penjelasan tentang acara dialog itu. Alasan bahwa ini adalah “masa tenang” tidak masuk akal karena kami nonpartisan dan bukan kandidat yang akan berlaga di Pemilu Kada. Ya, symptom kecemasan yang berlebihan. Malah kami harus bertanya: Ada apa di balik semua ini? Adakah skenario tertentu yang sedang dimainkan? Malam hari pada tanggal yang sama Panwaslu juga melakukan dialog di radio yang sama meng-counter acara dialog yang kami lakukan. Ini maksudnya apa?

Hasil Pilkada Manggarai sangat fantastik, apa penyebabnya menurut Anda?

Berbeda dengan Manggarai Barat dengan Ngadha, perolehan paket Incumbent di Manggarai sangat mencolok bahkan hampir mustahil. Di Manggarai Barat dengan komposisi pesaing yang mempunyai wilayah pengaruh merata di hampir semua kecamatan menyebabkan perolehan suara antara paket GustI dan yang lainnya tidak terpaut terlalu jauh. Bahkan ada arah ke dua putaran. Sedangkan di Manggarai paket Incumbent (34,54%) jauh meninggalkan paket yang lain (Victory 15,21%). Kalau ditanya, apa penyebabnya, itu harus dibuat kajian yang objektif. Namun hemat saya, orang Manggarai mayoritas memiliki pendidikan yang rendah, karena itu perspektif mereka akan apa yang disebut “pembangunan” sangat harafiah. Belum lagi kalau benar ada money politic dan penyalahgunaan kekuasaan.

Bagaimana pandangan Anda tentang Proses Pemilu Kada 03 Juni lalu di Manggarai dari sisi politik?
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Politik juga suatu seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Menurut Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Selain itu, politik merupakan hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara, kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat dan segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Bertitik tumpu pada teori-teori ini, Pemilu Kada 03 Juni lalu adalah salah satu bentuk proses demokrasi untuk membangun daerah ini.
Menyinggung soal demokrasi di Indonesia secara luas, penilaian Anda?
Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti Indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik, pemilik uang dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.
Demokrasi kita belum tumbuh secara benar. Apakah bisa dikatakan demikian?
Kenapa tidak? Demokrasi menjadi sebuah moment bersama untuk sebuah pembaharuan jika semua stake holder yang tergabung di dalamnya memahami apa itu demokrasi dan mengapa ia perlu.
Kesulitan realnya?
Pertama, Menurut data statistik tingkat buta huruf kita sangat tinggi. Itu artinya apa? Rakyat kita belum bisa mencerapkan gagasan-gagasan tentang demokrasi yang benar ke tengah-tengah masyarakat kita. Sehingga ketika ada kandidat berduit datang merayu, mereka pikir itulah yang terbaik. Apalagi, mereka sudah disemaputkan oleh ketiadaan beras. Mereka tidak tahu inilah kesempatan emas untuk memilih pemimpin yang cerdas. Manggarai ini kan subur, mestinya penduduk berkecukupan pangan. Jadi money politics tidak bisa ditepis. Kedua, lembaga-lembaga pendukung demokrasi di Negara Berkembang belum berfungsi secara maksimal, termasuk di Indonesia, misalnya menyoal netralitas KPUD/Panwaslu. Apakah benar mereka sungguh netral? Padahal mereka ini adalah “penjaga gawang” dari keberhasilan Pemilu yang benar. Ketiga, penjaga keamanan (Polisi, Brimob). Sebagian besar rakyat Manggarai masih takut pada penjaga keamanan. Bahkan kalau digertak saja mereka langsung surut. Nah di sini kesulitannya, kalau penjaga keamanan ini berpihak pada kandidat tertentu, ya tentu sulit sekali dibayangkan apakah rakyat mau mengadu jika ada pelanggaran. Keempat, aturan tidak mundurnya Incumbent sebagai Kepala Daerah, kecuali saat kampanye saja, sangat menguntungkan paket yang masih berkuasa. Tipis sekali perbedaan antara pergi kunjungi rakyat dan mengkampanyekan diri. Bahasa lainnya seperti kata pepatah “Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terjangkau”. Para demonstran mempersoalkan pemasangan baliho pembangunan oleh Humas Setda yang baru muncul di hari-hari terakhir kampanye. Mana baliho itu 5 (lima) tahun lalu? Mengapa baru muncul sekarang persis ketika baliho kandidat lainnya telah dibongkar?
Berarti ada hubungan timbal balik di satu pihak tujuan dari adanya demokrasi dan posisi vital rakyat serta elemen-elemen penjamin demokrasi itu?
Tentu. Demokrasi yang benar membawa perubahan dalam bentuk kesejahteraan. Sejatinya kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik yang mengarah pada bonum commune (kesejahteraan bersama). Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Dalam konteks Manggarai sejauh ini, ada pro dan kontra terhadap hasil Pemilu Kada, tanggapan Anda?
Pro-kontra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan yang demokratis. Untuk bisa membuktikan manakah yang benar dan manakah yang salah tidak cukup dengan nasihat saleh untuk menerima saja kekalahan. Atau mengamini begitu saja hasil yang sudah ada. Yang perlu di perhatikan ialah bagaimana proses Pemilu Kada itu dijalankan? Adakah unsur-unsur yang melawan aturan? Adakah aturan-aturan yang dipaksakan? Semua ini harus diteliti, jika ada pelanggaran Undang-undang dalam proses, Pemilu Kada harus dibatalkan demi hukum.
Berarti Anda setuju bahwa demostrasi harus tetap digelar?
Pertama, demontrasi tidak identik dengan hal yang negatif, namun tidak cukup dengan demonstrasi. Yang diperlukan ialah mencari bukti-bukti yang valid bahwa telah ada satu proses yang menyimpang. Misalnya, adakah urgensitasnya Bupati mengeluarkan Surat No. HK/125/2010 tanggal 22 Mei 2010 tentang Pembentukan Tim Koordinasi dan Monitoring pada saat Kampanye Pemilu Kada? Hal yang sama juga untuk Surat Wakil Bupati Manggarai No. 052/HMS/127/V/2010 tanggal 31 Mei 2010. Surat tersebut melanggar pasal 80 UU No. 32 tahun 2004. Apakah ada jaminan bahwa seorang Camat dan Kades/Lurah netral dalam menjalankan tugasnya tanpa intimidasi dan arahan? Bukankah monitoring dilakukan oleh KPUD dan Panwaslu? Atau, bagaimana dengan indikasi kasus money politic di kecamatan Cibal dan kecamatan-kecamatan lainnya? Juga kasus pelemparan rumah Camat di Reo? Semua ini harus dikaji lebih dalam dan cermat sehingga menghasilkan keputusan yang benar. Kedua, prinsip Jurdil (Langsung, Umum, Rahasia, bebas, Jujur dan Adil) dalam Pemilu sangat penting. Soal jujur dan adil sangat krusial dalam Pemilu Kada kita. Dugaan penggunaan Mesin Birokrasi yang kentara sangat membantu kandidat yang berkuasa untuk memperoleh kemenangan. Ini melanggar pasal 79 ayat 1 huruf C dan ayat 4 UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kalau ini benar terjadi, bukankah ini replikasi karakter Orde Baru? Sebuah tragedi maut demokrasi di era reformasi! Ketiga, kebenaran harus diperlihatkan. Jika ada saluran yang tersumbat, baiklah kita buka. Jangan ditutup-tutupi. Sebab, sebuah proses yang benar tentu menghasilkan keputusan yang benar. Penelikungan kebenaran harus dihentikan karena demokrasi yang benar tidak akan mengorbankan kebenaran sebagai unsur hakikinya.
Rekomendasi Anda?
KPUD dan DPRD jangan cepat-cepat mengambil keputusan final sebelum hal-hal yang disampaikan 8 (delapan) kandidat lainnya diteliti secara benar sehingga menemukan kesahiannya. Rapat pleno dan sidang Paripurna yang dibuat hanya demi selesainya satu proses demokratisasi secara artifisial akan membawa dampak yang luas bagi kehidupan kita. Lebih-lebih tindakan kekerasan dan kekacauan yang tak terukur. Rapat pleno KPUD dan Sidang Paripurna DPRD juga harus mengutamakan prinsip kebenaran menjadi inti keputusan itu. Demikianpun rekomendasi Gubernur dan Keputusan Mendagri. Untuk masyarakat Manggarai harus menuntut haknya, demi meraih demokrasi yang benar.***

Selengkapnya...

Selasa, 08 Juni 2010

SURAT PENOLAKAN TAMBANG DI CENOP- KECAMATAN LAMBALEDA- MANGGARAI TIMUR

SURAT PENOLAKAN TAMBANG

No : -
Lampiran : 1 jepitan
Perihal : Pernyataan Sikap

Yth. Bapak Bupati Manggarai Timur
Di
Borong

Dengan hormat,
Kami masyarakat kampung Cenop, Desa Nampar Tabang, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, baik sebagai pemilik lahan di “Lodok Wae Lempis” yang di dalamnya terkandung mangan, maupun sebagai bagian yang tak terpisahkan dari “Pa’ang Olon Ngaung Musin” kampung Cenop, datang ke hadapan Bapak untuk menyatakan sikap kami sebagai berikut:
1. Menolak dengan keras terhadap berbagai bentuk aktivitas pertambangan di sekitar lahan dan kampung kami dengan alasan sebagai berikut:
1) Hidup kami masih bergantung pada tanah. Di atas lahan yang kami miliki sekarang telah tumbuh tanaman perdagangan seperti kemiri, jambu mete dan kakao yang selama ini menjadi sumber penghasilan yang menopang ekonomi kami.
2) Lahan yang di dalamnya terkandung mangan lokasinya sangat dekat dengan permukiman warga kampung Cenop dan kampung Weleng. Aktivitas pertambangan di lokasi tersebut tentu saja akan sangat berdampak buruk bagi kelangsungan hidup warga kedua kampung tersebut.
3) Lokasi tersebut sangat dekat dengan lokasi SMPN 2 Lamba Leda (kurang lebih berjarak 100 meter). Aktivitas pertambangan tentu saja akan menciptakan kondisi yang tidak nyaman untuk kegiatan pembelajaran di sekolah tersebut.
4) Lokasi tersebut berada langsung di dekat daerah aliran sungai. Jika dilakukan aktivitas pertambangan maka akan sangat merugikan kegiatan pertanian di beberapa lahan persawahan milik masyarakat kampung Lengko Tong dan Tumbak di Desa Satar Punda, serta kampung Waso dan Runting di Desa Satar Padut.
5) Kurang lebih 200 meter dari lokasi tersebut terdapat mata air (Wejang), tempat warga kampung Cenop menjalankan ritus adat “Barong Wae” untuk setiap kali melakukan upacara adat. Aktivitas pertambangan tersebut akan melecehkan simbol budaya kampung Cenop.
2. Menolak dengan tegas pihak, baik pribadi maupun kelompok, yang mengatasnamakan masyarakat kampung Cenop untuk menyatakan persetujuan terhadap aktivitas pertambangan di lahan milik masyarakat kampung Cenop.
3. Mengutuk dengan keras warga kampung Cenop yang lahannya diserahkan untuk kegiatan pertambangan. Terhadap mereka kami berpandangan bahwa:
1) Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kepekaan sosial, tidak menghargai kepentingan bersama, mengorbankan kepentingan bersama demi pemuasan keinginan mereka yang egois.
2) Mereka adalah orang-orang yang tidak konsisten karena mereka telah membuat pernyataan menolak terhadap aktivitas eksplorasi dan eksploitasi mangan di lahan yang mereka miliki tertanggal 3 Mei 2009 yang disaksikan oleh 33 peserta rapat dan diketahui oleh Tu’a Teno Cenop atas nama Bapak Paulus Rangka (Surat Pernyataan Penolakan terlampir).
3) Mereka telah melakukan penipuan terhadap masyarakat untuk mendapatkan persetujuan masyarakat kampung Cenop dan kampung Diwuk terhadap aktivitas pertambangan dengan modus menandatangani persetujuan menjadi tenaga kerja ketika nanti aktivitas pertambangan resmi dilakukan.
Demikian pernyataan sikap kami untuk menjadi pertimbangan Bapak dengan harapan agar diterima dan dengan demikian Bapak tidak mengeluarkan ijin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di “Lodok Wae Lempis” yang dimaksud. Kami akan terus melakukan penolakan sampai Bapak mengabulkan permohonan kami untuk tidak mengeluarkan ijin eksplorasi dan eksploitasi mangan di wilayah kami. Atas perhatian Bapak kami mengucapkan terima kasih.

Cenop, 6 Juni 2010
Koordinator Sekretaris


Rofus Janus Anton Ego

Tembusan:
1. Yth. Ketua DPRD Kabupaten Manggarai Timur di Borong
2. Yth. Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Manggarai Timur di Borong
3. Yth. Ketua JPIC SVD Provinsi Ruteng di Ruteng
4. Media massa
5. Arsip Selengkapnya...

Sabtu, 29 Mei 2010

PEMBANGUNAN MANGGARAI DAN TRAGEDI KEMANUSIAAN

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Staf Pengajar STKIP St. Paulus,
Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi

Kabupaten Manggarai berada di ujung barat Pulau Flores. Manggarai dikenal sebagai daerah subur ditandai dengan tingginya kontribusi sektor pertanian bagi perekonomian daerah ini. Hampir semua jenis tanaman pertanian seperti padi, jagung, umbi-umbian dan sayur-sayuran tumbuh subur di daerah ini. Begitu pula tanaman perdagangan seperti kopi, cengkeh, fanili, cokelat, kemiri dan pisang dengan mudah kita temui di daerah ini. Bahkan Manggarai dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbesar di NTT.
Dari sisi geografis, Kabupaten Manggarai berada di antara Kabupaten Manggarai Barat di sebelah barat dan Kabupaten Manggarai Timur di sebelah timur. Sementara di bagian utara berbatasan dengan laut Flores dan bagian selatan laut Sawu.
Luas wilayah Kabupaten Manggarai adalah 4.188,90 km persegi yang terdiri dari daratan Pulau Flores dan Pulau Mules. Kabupaten Manggarai kini menjadi kabupaten induk bagi Kabupaten Manggarai Barat yang definitif tahun 2003 dan Kabupaten Manggarai Timur tahun 2007. Pemekaran Manggarai menjadi tiga kabupaten ini disebabkan karena luasnya wilayah yang membuat upaya memajukan dan mensejahterakan masyarakat sulit diwujudkan.
Secara administratif, Kabupaten Manggarai terbagi atas 9 kecamatan yakni kecamatan Satar Mese, Satar Mese Barat, Wae Rii, Reo, Cibal, Ruteng, Lelak, Rahong Utara dan Langke Rembong. Masing-masing kecamatan terbagi lagi atas wilayah desa/kelurahan, yakni Satar Mese 19 desa, Satar Mese Barat 20 desa, Wae Rii 16 desa, Cibal 27 desa, Reok 20 desa, Ruteng 16 desa, Rahong Utara 12 desa, Lelak dan Langke Rembong 11 kelurahan. Total desa/kelurahan mencapai 138 desa dan 11 kelurahan.
Tulisan ini lebih merupakan sebuah tinjauan kritis atas apa yang telah terkonstruksi dalam pembangunan di Manggarai dan hasil-hasil yang dapat terukur pada dimensi kemanusiaan yang utuh dari manusia.


Salah Kaprah Pembangunan
Masyarakat Manggarai dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung melihat pembangunan dalam orientasi State Building (pembangunan fisik) dan bukan Nation Building (pembangunan manusia). Karena itu ukurannya jelas: berhasil atau tidaknya pembangunan bertitik tumpu pada berapa jalan yang dibuka, bukan pada apakah makin sejahtera masyarakat, makin banyak yang berpendidikan, makin banyak yang sehat, dll. Sebuah pembangunan yang integral dan berdimensi plural.
Membaca alur pemikiran pembangunan yang dibacakan Bupati Manggarai dalam Laporan Akhir Masa Jabatan di hadapan DPRD Manggarai, ada kesan kuat menonjolkan pembangunan infrastruktur sebagai ”fokus utama” dari kerja kepemimpinan selama 5 (lima) tahun pasangan Drs. Christian Rotok dengan Dr. Kamelus Deno (Credo). Hal itu juga sering terlontar dari kampanye-kampanye jelang Pemilu Kada Manggarai tahun ini oleh Credo dan tim. Juga sebagian masyarakat mengafirmasi hal itu sebagai keberhasilan Credo.
Program pembangunan Credo lebih diarahkan ke pengembangan infrastruktur. Pembangunan jalan, jembatan dan berbagai sarana fisik selalu menjadi perhatian utama sehingga masalah gizi diabaikan. Dari sini dapat diketahui wawasan pasangan Credo tentang pembangunan adalah bagaimana memanfaatkan dana yang ada. Pembangunan lebih bernuansa proyek, bukan sungguh-sungguh membangun. Artinya karena lebih berfokus pada hal tersebut, maka problem-problem lain seperti gizi, pendidikan, kesehatan, ekonomi memiliki skala prioritas yang sekunder. Dana untuk pembangunan yang berorientasi pada masyarakat miskin juga masih sangat kecil.
Meskipun banyak proyek infrastruktur dijalankan pemerintah, sebagian besar masyarakat masih tinggal di tempat yang secara fisik tidak bisa dikatakan layak. Sebanyak 46,47 persen keluarga tinggal di rumah berlantai tanah, 48,93 persen rumah penduduk berdinding bambu, 41,85 persen penduduknya mengkonsumsi air dari sumber yang tak terlindungi dan air sungai. Sedangkan hanya 17,57 persen penduduknya hidup dengan listrik. Listrikpun sering padam dan Pemda seolah-olah cuci tangan atas masalah ini.

Tragedi Kemanusiaan
Selama lima tahun masa pemerintahan Credo, paling kurang ada beberapa masalah akut yang mencuat ke permukaan. Di sini saya hanya menyebutkan tiga hal. Masih banyak soal lain seperti korupsi yang menguat di masa pemerintahan ini dan persoalan tambang yang krusial, tapal batas hutan yang tak terselesaikan, dll.
Pertama Masalah Pendidikan. Mari kita cermati bersama profil masalah pendidikan di Kabupaten Manggarai. Data statistik memperlihatkan bahwa pada usia wajib sudah sekolah (10 tahun ke atas) angka buta huruf mencapai 9,35 % dari total jumlah wajib belajar pada usia yang sama. Dari prosentase itu, laki-laki mengalami nasib yang lebih untung dibanding perempuan, karena 11,58 % perempuan buta huruf dibanding laki-laki 7,05 %.
Sedangkan prosentase kelulusan di tingkat SLTP atau setingkatnya memilukan, karena dibanding kabupaten-kabupaten lain di NTT, Kabupaten Manggarai mengalami kemunduran yang luar biasa. Prosentase kelulusan tingkat SMP tahun 2007/2008, di Kabupaten Manggarai hanya mencapai 62,50 % dari total peserta ujian, sedangkan Kabupaten TTS mencapai 71,14 %, Manggarai Barat 78,74 %. Lebih menyedihkan karena tingkat kelulusan kabupaten baru mekar (berdiri) seperti Kabupaten Sumba Tengah lebih tinggi dibanding Kabupaten Manggarai, karena peringkat prosentase kelulusan setingkat SMP di Kabupaten Sumba Tengah mencapai 68,48 %. Hal yang sama bagi Manggarai Timur lebih gemilang di bandingkan Manggarai.
Wajah kelulusan tingkat SLTA atau setingkatnya juga memperlihatkan angka yang memprihatinkan. Kabupaten Manggarai hanya 55,12 % kelulusannya, sedangkan TTS mencapai 92,22 %, Manggarai Barat 66,97 %, Manggarai Timur menembus angka 90,69 %. Tetapi Kabupaten Manggarai lebih unggul dibanding Sumba Tengah yang hanya 37,18 % tingkat kelulusan SLTA atau setingkatnya.
Lebih memprihatinkan angka kelulusan Siswa SLTP dan SMU/SMK di Manggarai 2008/2009. SLTP 59,99%, SMU 82,31 % dan SMK 96,10%. Sedangkan tahun 2009/2010, SLTP 43,29%, SMK 47,67% dan SMU hanya 26,29%. Dari tahun ke tahun angka kelulusan kita makin turun. Pendidikan formal tingkat menengah di Manggarai terpuruk ke titik nadir.
Angka-angka prosentase ini mau memperlihatkan apa dalam kinerja, semangat dan fokus penyelesaian problem manusia Manggarai ke depan? Artinya masalah pendidikan menyimpan bom waktu di masa depan, terutama penyediaan sumber daya manusia untuk mengelola pembangunan daerahnya. Tambahan lagi, kader-kader intelektual akan kian surut jika perbaikan nasib pendidikan di Manggarai belum terencana dengan baik. Belum lagi jika kita menilik angka korupsi di bidang ini yang meluas.
Kedua, Masalah Kesehatan. Di Kabupaten Manggarai hanya ada 2 (dua) rumah sakit (yang dikelola oleh pemerintah dan milik swasta). Persediaan tempat tidur untuk melayani orang sakit hanya 161 tempat tidur dengan rincian 101 tempat tidur di rumah sakit pemerintah, dan 60 tempat tidur di rumah sakit swasta. Jumlah dokter 22 orang, perawat 216 orang dan bidan 135 orang.
Jumlah Puskesmas 15, Puskesmas Pembantu (Pustu) 63, Poskesdes 40, Polindes 26 dan Posyandu 624.
Angka itu memperlihatkan bahwa sebaran infrastruktur tidak berbanding lurus dengan sebaran jumlah penduduk yang hendak dilayani. Karena itu, kasus gizi buruk, angka kematian balita dan angka kematian ibu tetap tinggi. Angka balita gizi kurang (2008) mencapai 37,3 % dan angka kematian bayi 48,90 %. Sedangkan jumlah penduduk yang hendak dilayani adalah 504.163 jiwa.
Masalah gizi di Manggarai menuai cerita baru. Gizi di Manggarai dinilai masih bermasalah sangat tinggi dan kronis. Angka kesakitan yang tinggi dan praktek pemberian makan yang tidak baik merupakan penyebab langsung masalah gizi tersebut.
Problem gizi balita ini memperlihatkan angka yang mengenaskan. Balita gemuk di Manggarai hanya 5,1 %, berbadan pendek mencapai 60,6 % dan gizi kurang mencapai 24,2 % dibanding rerata NTT secara keseluruhan. Karena itu, jangan harap ada kader pemain basket, sepak bola dan volley ball yang baik dari Manggarai di masa depan. Pantaslah kalah terus di El Tari Memorial Cup di sejumlah event dan kesempatan.
Angka penyakit pada balita 14 hari juga memperlihatkan keprihatinan yang mendalam. Anak-anak Manggarai yang baru lahir berusia 14 hari terkena penyakit (sakit) mencapai 69,5 % sedangkan pada usia dan saat yang sama, NTT rerata 57,3 %. Anak-anak juga mengalami demam hebat dengan mencapai posisi 57,1 % dan pada saat yang sama di NTT mencapai 46,6 %.
Jumlah orang berbadan pendek di Manggarai mencapai angka yang mencengangkan karena berada di atas 80 % lebih. Lalu pertanyaannya, bagaimana mungkin mendorong hadirnya manusia bermutu di Manggarai di masa depan? Di manakah semua alokasi anggaran yang diintervensi pemerintah (daerah, propinsi dan pusat) serta pihak ketiga?
Sementara itu, situasi dan kondisi rawan pangan di Manggarai senantiasa menjenguk masyarakatnya. Angka-angka berikut ini akan berbicara banyak soal itu. Rawan pangan mencapai 50,3 % dibanding NTT 40,8 %. Sedangkan resiko rawan mematok prosentase pada angka 32,5 %. Artinya, jika intervensi tidak tepat dan kurang tepat, maka Manggarai akan tetap menjadi satu kabupaten yang selalu rawan pangan sepanjang tahun. Apalagi yang dinilai agak tahan pangan hanya 17,2 %. Tentu saja para pegawai dan para pebisnis masuk di dalam angka 17,2 % itu.
Mengapa angka gizi kurang dan gizi buruk itu begitu tinggi di Manggarai dan bagaimana nasib sumber pangan mereka? Sumber pangan yang dimakan orang Manggarai di Manggarai memperlihatkan hal sebagai berikut. Hanya 45 % penduduk Manggarai yang memiliki jagung dan diproduksi sendiri, sedangkan 22 % lebih jagung diperoleh dengan cara membeli sedangkan bantuan lain 18 %.
Beras yang diproduksi sendiri hanya 26 % sedangkan yang dibeli mencapai 42 %, sedangkan Raskin mencapai 17 %. Singkong (bahasa Manggarai : tetehaju) diproduksi sendiri mencapai 71 % persis sama dan sebanding dengan produksi dan konsumsi daun singkong. Orang Manggarai pengkonsumsi daun singkong tertinggi di NTT. Sedangkan roti dan biskuit hampir 100 % dibeli. Umbi-umbian lain, semisal, ubi talas, keladi dan lainnya mencapai angka yang sama dengan singkong 71 %.
Bagaimana dengan ikan, mie, daging, telur, susu, gula dan minyak? Hampir 100 % orang Manggarai memperoleh semuanya dengan cara membeli. Sisanya hasil cimpa atau pemberian. Artinya, ketergantungan masyarakat Manggarai pada pasar sangat tinggi.
Lalu bagaimana dengan sebaran jenis mata pencaharian orang Manggarai. Hasil kiriman dari jauh (entah dari anaknya yang merantau atau sanak keluarga) hanya 2,0 %, PNS 2,0 %, Pedagang 3,5 % dan nelayan 1,7 %. Bertani 17,5 % sedangkan buruh tani mencapai angka yang mengejutkan yaitu 43,2 %. Artinya apa? Artinya manusia Manggarai kini mengalami krisis hebat tak memiliki lahan garapan untuk bertani kecuali menjadi buruh tani belaka.
Ketiga, Masalah Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Manggarai tahun 2005-2010 sangat fluktuatif, baik yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan eksternal maupun internal. Tahun 2005 Manggarai di level 2,14, NTT: 3,42, 2006 Manggarai 5.30, NTT: 5.08, 2007: Manggarai 6,03 dan NTT: 5.15, sedangkan tahun 2008 NTT 4,81, Manggarai jatuh ke level yang jauh lebih rendah dari dua tahun sebelumnya yakni 2,86.
Tragisnya sebagian besar masyarakat manggarai tergolong miskin. Rata-rata pengeluaran masyarakat Manggarai setiap bulan per-orang adalah Rp 161.688. Tingkat PDRB dan Pendapatan per Kapita Kabupaten Manggarai terkesan terus mengalami peningkatan, padahal kenaikan tidak significant bahkan masih lebih rendah dari PDRB dan Pendapatan per Kapita Provinsi NTT dan Nasional. Tahun 2005 PDRB Manggarai 2,2777,281 sedangkan NTT 3,476,397. Tahun 2008 Manggarai 3,854,082 dan NTT 4,768,486. Selisihnya sangat jauh. Tahun 2005: 1,199,116 dan tahun 2008: 914,404. Tahun 2005 Pendapatan per Kapita Manggarai 2,137,083 sedangkan NTT 3,281,657. Tahun 2008 Manggarai 3,610,846 sedangkan NTT 4,469,637. Selisinya terpaut jauh. Tahun 2005: 1,144,574 dan tahun 2008: 858,791.

Pemilu Kada dan Kans Perubahan
Upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Manggarai terlihat belum optimal. Hal ini ditunjukkan oleh persentase KK miskin di Kabupaten Manggarai pada tahun 2008 (62,9%) yang menurun dari 67,8% pada tahun 2005. Namun tingkat kemiskinan ini masih lebih tinggi dibandingkan persentase KK miskin tingkat Provinsi NTT tahun 2008 yang sebesar 56,75%. Dengan kata lain, tingkat kemiskinan kita secara absolut masih tinggi. Tantangan utama yang dihadapi dalam penanggulangan kemiskinan di Manggarai pada masa mendatang adalah meningkatkan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin; merencanakan pembangunan dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro poor); meningkatkan partisipasi dan akses masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan; mensinergikan kebijakan pusat dan daerah dalam penanggulangan kemiskinan; mengoptimalkan potensi ekonomi lokal dan menekan laju pertumbuhan penduduk.
Tantangan ke depan adalah meningkatkan percepatan pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan pemerataan pembangunan antarwilayah; pertumbuhan ekonomi harus dinikmati oleh masyarakat; mendorong pertumbuhan yang cepat pada sektor tersier tanpa mengabaikan pertumbuhan sektor primer yang memiliki daya tahan terhadap krisis perekomian global dan nasional; meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada sektor sekunder dan tersier sebagai lokomotif dalam penyerapan tenaga kerja dan pengimbang pertumbuhan sektor primer yang terus menurun; mendorong pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru; menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga mampu menarik minat investor.
Kenyataan-kenyataan ini belum bisa dijangkau oleh Credo selama 5 (lima) tahun yang telah lewat. Sebuah kegagalan kemanusiaan Manggarai yang sangat substansial dan akut. Pemilu Kada tanggal 3 Juni 2010 oleh banyak orang dilihat sebagai moment untuk menciptakan perubahan. Pada titik ini, harapan akan perubahan yang signifikan juga diletakkan pada orientasi pembangunan berbasis konteks, perubahan pola kepemimpinan, standar pencapain pembangunan serta mekanisme yang digunakan. Sebuah imperatif bahwa di masa depan, kegagalan yang sama tidak perlu dilanjutkan.*** Selengkapnya...

Minggu, 25 April 2010

Studi Kebijakan Penanganan Gizi Kabupaten Manggarai

PENGANTAR

Hingga tahun ini, telah lima tahun sudah bupati Christian Rotok menjalankan roda pemerintahan kabupaten Manggarai. Meskipun kabupaten ini merupakan wilayah tersubur di NTT, namun hingga akhir pemerintahannya penderita gizi buruk dan gizi kurang masih berceceran dimana-mana. Sepertinya penanganan masalah gizi bukan saja menjadi perhatian utama Pemerintah Manggarai, hahkan masalah ini seperti berada diluar kerangka berpikir mereka. Indikasinya dalam teks pertanggung jawaban Bupati Manggarai yang dibacakan 31 Maret 2010 kemarin tidak menyinggung sama sekali masalah perkembangan gizi buruk di Manggarai padahal ini merupakan masalah penting yang menyangkut sumber daya manusia.

Apakah gizi buruk di Manggarai memang sudah tidak ada lagi? Hingga Juli 2009 di kabupaten ini masih terdapat 1.767 anak gizi kurang dan 109 anak gizi buruk. Jumlah ini didasarkan data dinas kesehatan. Meskipun perkembangan gizi buruk menunjukkan trend yang menurun, namun ada berbagai versi data mengenai penderita masalah gizi yang dimiliki sumber-sumber di pemerintahan. Satu dengan yang lainnya menunjukkan jumlah yang berbeda. Hal ini menunjukkan kesimpangsiuran dalam pendataan masalah gizi di pemerintahan. Kesimpangsiuran pendataan sering menyebabkan kesimpangsiuran penanganannya pula.


Tahun 2005, Manggarai masuk dalam 16 kabupaten yang dinyatakan sebagai daerah yang mengalami KLB gizi buruk oleh pemerintah provinsi NTT. Lalu apa yang telah dilakukan pemerintah sejak KLB hingga saat ini jika sampai saat ini masih ada ribuan anak dengan masalah kecukupan gizi? Jika diperiksa dari kebijakan dan program pemerintah 2005 dan 2009 hampir tidak ada perubahan yang signifikan baik dalam kebijakan maupun program-programnya.

Pemerintah Manggarai meletakkan bidang pendidikan sebagai prioritas utama dalam kebijakannya. Alokasi anggaran yang disisihkan untuk bidang ini tidak main-main yaitu 33% pada tahun 2009. Namun sayangnya hasil kerja di bidang ini tidak sesuai dengan besarnya anggaran yang diperoleh. Angka kelulusan siswa SMP dan SMA terus merosot sejak 2006 hingga 2009. Ini merupakan catatan besar bagi Pemerintah Manggarai dalam membenahi sektor pendidikan yang secara tidak langsung terkait dengan penanganan masalah gizi. Masalah gizi salah satunya dipicu oleh rendahnya pendidikan secara mutu maupun kuantitas masyarakat.

Di sektor pertanian agaknya mengalami kemacetan dalam usaha perluasan area tanam sehingga luas lahan yang bisa dibudidayakan tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja. Padahal luas lahan yang belum termanfaatkan masih sangat luas. Akibatnya setiap tahun jumlah pengangguran semakin meningkat. Kendala minimnya jumlah tenaga penyuluh yang tidak mencukupi kebutuhan seluruh desa juga merupakan masalah tersendiri.

Walaupun demikian ada inisiatif kreatif dari kalangan kelompok agamawan yang mencoba memutus rangkaian penyebab busung lapar ini. Ekopastoral yang merupakan gerakan pastoral kategorial Ordo Fransiskan untuk masyarakat petani yang berkantor di Pagal mencoba mengajak para petani untuk meningkatkan produksi pangan dan hortikultura untuk konsumsi sehari-hari. Melalui pertanian organik masyarakat akhirnya bisa menikmati peningkatan jumlah produksi pangan dengan biaya produksi yang murah. Selengkapnya...

Daerahku Malang, Daerahku Gizi Buruk

Workshop-Studi Kebijakan Penanganan Gizi Kabupaten Manggarai -2009
Ecosoc Right Institute, Jakarta 26-29 April 2010
Catatan Perjalanan 1


Siang terik 10 April 2010… hand phone-ku bordering. Aku melihat angka yang tertera. Eh, ada nomor baru. Segera kusapa, “Halo, ada yang kami bisa bantu?” Di seberang sana memberikan jawaban, serentak bertanya, “Apakah benar ini Kanisius dari LPKD?” “Benar”, jawabku. Suara itu memperkenalkan diri sebagai peneliti dari Ecosoc. Mbak Yanti, itulah namanya. Sejak saat itu, ada diskusi hangat yang menyengat sekaligus menimbulkan duka: Manggarai didera gizi buruk! Itulah sebuah simpulan sementara setelaj ada sebuah kajian rasional-objektif atas fakta Manggarai yang kaya sumber daya alam sekalgus kaya orang miskin.

“Tolong, kita lakukan kajian bersama”. Demikian awal perjalanan penelitian tentang gizi bersama Ecosoc. Tiket sudah di-issued mbak Yanti. Routenya Ruteng-Kupang-Surabaya-Jakarta. Jadilah tanggal 24 saya bersama Esti dari JPIC berangkat dengan Riau Air dari Ruteng ke Kupang. Di Kupang sempat pelesir ke rumah saudara sambil menumggu jadwal perjalanan lanjutan. Kami bertemu dengan Okto dari Alor. Okto ini dari tampangnya persis seorang body guard kawakan di AS. Mirip orang dari Puerto Richo: tinggi, besar, rambut panjang dan kekar. Selanjutnya kami terbang pkl. 13.30 dengan Mandala Air Bus 320. Pesawat yang ini masih baru dengan jumlah seat 160. Ada keanggunan tersendiri berada di dalamnya.

Tiba di Cengkareng pkl 17.00. Dengan taxi Blue Bird kami meluncur ke Klender. Rumah yang disambang adalah Wisma Samadi milik Keuskupan Agung Jakarta. Sempat pusing karena mutar-mutar. Sopir juga belum hafal benar daerah ini. Lalu setelah 1 jam berkeliling, tibalah di rumah yang dulunya RS cabang Carolus. Teman-teman lain berdatangan: Melki dari Florim, Frans Pantur dari Kupang, Ernet dari Rote, Dr. Yan dari TTU serta teman-teman asal Jakarta… Selengkapnya...

Jumat, 09 April 2010

Gereja Manggarai yang Membebaskan

Bingkisan Kecil di Hari Tahbisan Uskup Ruteng

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Pengajar STKIP St. Paulus & Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi

Hari-hari ini, Gereja Keuskupan Ruteng yang memiliki wilayah pelayanan untuk Manggarai Raya (Manggarai Barat, Manggarai Tengah dan Manggarai Timur), sedang dilanda suka cita. Betapa tidak! Setelah sekian lama ada dalam penantian, akhirnya Uskup baru, Mgr. Hubertus Leteng Pr ditahbiskan pada 14 April 2010. Pada 08 April 2010 Yang Mulia dijemput secara resmi dengan ramainya menuju kota Ruteng. Ribuan umat memadati jalan protokol. Tempik sorak-sorai juga kesemarakan menjadi nada yang sulit ditepis dari kegembiraan kolosal umat. Tak ketinggalan murid-murid SD, siswa-siswi SLTP & SLTA. Termasuk mahasiswa-mahasiswi kampus STKIP St. paulus. Di mana-mana wajah Monsigneur dipampang dalam baliho yang besar. Hampir bersaing ketat dengan para kandidat politik yang akan berebut tahta menjadi Bupati-Wakil Bupati di Manggarai.
Di tengah keramaian, di antara lambaian tangan-tangan kecil siswa SD yang memegang bendera merah-kuning, juga kesigapan regu penjemputan dalam busana adat yang indah, muncul berbagai pertanyaan yang menyeruak masuk: Apakah peristiwa ini akan membawa orang Manggarai Raya ke arah pembebasan? Bagaimana kita membangun Gereja kita sebagai Gereja yang Membebaskan? Pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan sebuah ikhtiar untuk menulis gagasan kecil ini, lebih sebagai bingkisan di hari tahbisan Mgr. Hubertus.


Tekanan kolonialisme masa lampau masih terbaca dalam kecemasan-kecemasan orang Manggarai menghadapi tantangan hidup aktual masa kini. Mereka sudah terbiasa menghadapi pengalaman kekerasan, penindasan dan ketidakadilan struktural yang dipaksakan. Dalam situasi seperti ini, mereka sangat mengharapkan terciptanya situasi pembebasan dari keterbelengguan multiwajah. Ketika suara mereka tidak didengarkan oleh penguasa, tatkala hak-hak mereka tak dihiraukan dan mereka tidak sanggup untuk melawan, mereka mengharapkan Gereja tidak berdiam diri. Orang Manggarai rindu memiliki Gereja yang menjadi wakil mereka untuk bersuara menentang penindasan yang telah lama mereka alami. Gereja tidak boleh hanya menjadi penonton yang tidak berpihak pada mereka. Apalagi berkolaborasi dengan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat-umat Manggarai.
Gereja yang berdialog adalah Gereja yang aktif, terlibat dalam konteks budaya dan masalah-masalah orang Manggarai. Persoalan yang paling aktual ialah, bagaimana nilai-nilai budaya orang Manggarai dengan tradisi sastra lisannya menjadi sarana yang efektif untuk mendialogkan Kabar Gembira Yesus Kristus? Kesediaan Gereja untuk mendengarkan keluh kesah, harapan dan bersama mereka yang dirugikan berjuang untuk menemukan jalan pembebasan. Hanya suatu masyarakat yang terbuka, partisipatif mampu mengatasi keterpecahan kebudayaan kosmik yang disebabkan oleh pesatnya laju pasar internasional. Ini berarti Gereja Manggarai menciptakan suatu kebudayaan dialogal, di mana setiap orang dinilai [didengarkan] dan setiap orang ambil bagian dalam pengambilan keputusan yang demokratis.
Dialog itu sendiri merupakan evangelisasi pembebasan dalamnya misi Kristus dihadirkan. Dialog pada tahap pertama dan utama adalah kesediaan untuk saling membuka diri. Dalam dialog, kedua belah pihak memiliki kedudukan yang setara, sederajad di mana anggapan superioritas dan inferioritas ditiadakan. Gereja sebagai institusi mendialogkan tawaran keselamatan Yesus Kristus kepada orang Manggarai. Dalam budaya dialogal, orang Manggarai akan mengkomunikasikan pengalaman hidup dan budaya mereka kepada Gereja. Demikianpun sebaliknya.
Kebudayaan kosmik orang Manggarai telah menjadi sekular tatkala kaum miskin disamun dari bahasa yang dalamnya mereka mengungkapkan jati diri, martabat dan nilai-nilai hidup mereka yang terdalam. Dalam situasi krisis kebudayaan [terlepas dari akar budaya asli dan menjadi ragu atasnya] mereka ditawarkan untuk membuka diri terhadap yang transenden. Dalam konteks seperti ini, tempat Gereja ialah ada bersama-sama dengan kaum miskin dan yang tergusur sebab di situlah Allah akan ditemukan. Konkritnya, ada beberapa langkah pembebasan yang dapat menjadi reksa pastoral.
Pertama, dialog yang dijalankan dengan penuh ketulusan, keterbukaan berusaha meyakinkan orang Manggarai bahwa dari kebudayaannya terdapat banyak nilai Kristiani [yang dalam awal abad ke-20 disebut naturaliter Cristiana-orang Kristen secara alami] yang dapat menjadi basis iman mereka kepada Kristus. Di sini anggapan yang terlanjur didengungkan pada zaman lampau tentang superioritas ajaran Kristen akan runtuh dengan sendirinya. Baik budaya lokal Orang Manggarai maupun tradisi Kristen berjalan dalam saling menerima dan memberi. Di sini dialog akan membebaskan orang Manggarai dari keterbelengguan historis yang merupakan stigma ciptaan misionaris masa lampau.
Kedua, dialog pembebasan tidak dibuat sebatas saling menerima dan memberi nilai-nilai yang membangun partisipasi umat menuju keselamatan. Lebih dari itu, dialog diarahkan ke praksis kehidupan sehari-hari orang Manggarai. Itu berarti Gereja terlibat dalam persoalan kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, kekerasan, pemberdayaan orang Manggarai secara aktif. Pengakuan akan eksistensi budaya, lembaga-lembaga adat-istiadat merupakan bagian dari misi pembebasan itu. Jika Pemerintah Kabupaten Manggarai hanya menjadikan kebudayaan dan institusi adat sebatas komoditas politik, demi meraup keuntungan di atas upaya penjualan dan pengangkangan terhadapnya, maka Gereja mesti berada pada garda depan untuk tampil sebagai pembela. Di sisi lain, Gereja bisa menjadi suara kritis terhadap praktek-praktek budaya yang diksriminatif, membelenggu dan keliru tersebab menista martabat kemanusiaan. Tetapi suara Gereja akan didengarkan jika ia terlebih dahulu mau mendengarkan dan aspiratif terhadap budaya lokal.
Ketiga, dalam pergolakan politis dan kebijakan-kebijakan Pemkab Manggarai, Gereja mesti tetap memiliki suara profetis. Ketika Gereja Manggarai kehilangan suara profetisnya, ia menjadi sama seperti garam yang tidak asin atau lampu yang tak berminyak. Orang Manggarai tidak membutuhkan bangunan Gereja yang megah, ruang pertemuan pastoral yang mewah [karena itu akan menyebabkan pungutan “derma” semakin gencar dan terkesan “memaksa”]. Gereja Manggarai harus tetap menjadi Gereja kaum sederhana yang hidup bersahaja. Seperti rumah Gendang yang tetap sederhana, Gereja hendaknya menampilkan diri secara ugahari, bersolider dengan umat yang tertindas dan menjadi pembela mereka. Advokasi hak-hak masyarakat Manggarai selama ini lebih banyak dilakukan oleh lembaga lain yang cepat tanggap terhadap persoalan publik. Di manakah peran Gereja? Gereja akan tetap dipahami sebatas institusi, gedung, jika tidak terlibat dalam kehidupan konkrit umat. Saatnya, praktek pembebasan ini dimulai, melepaskan dominasi teologi Barat, berupaya menjalin keterkaitan antara aktus-praksis dan refleksi demi menjawab tantangan aktual umat. Gereja perdana adalah Gereja para martir. Sudah tiba waktunya Gereja Manggarai keluar dari kenyamanan, berdiri bersama umatnya di bawah terik matahari untuk menentang kelaliman. Meskipun bayarannya adalah tubuh bersimbah darah.
Dalam dialog yang mengedepankan lonto leok, terdapat komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Relasi Manggarai berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah melanda Manggarai dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini, pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja Manggarai mengembangkan relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin memahami Gereja lokal Manggarai dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan konteks mereka.
Konsekuensinya jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung yang sanggup membahasakan kebutuhan real umat. Gereja karenanya tidak berarti singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang berbicara di rumah-rumah Gendang, di tempat lodok uma, di depan kantor DPR, di halaman kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus. Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam namaNya, di situ Allah hadir.***

Selengkapnya...

Jumat, 26 Maret 2010

Gereja Dialog di Manggarai

Permenungan Jelang Tahbisan Uskup Ruteng

Kanisius T. Deki, M.Th

Sejak gema Konsili Vatikan II bergaung hingga ke seluruh pelosok dunia, Gereja lokal Manggarai semakin menyadari perlunya menghargai kebudayaan asli masyarakat setempat. Bahkan muncul berbagai usaha inkulturasi, dialog antar agama dan gerakan pembebasan dalam teologi. Melalui upaya-upaya ini muncullah dialog multi sektor, yang oleh Uskup se-Asia menyebutnya sebagai “dialog rangkap tiga”. Komunitas-komunitas Kristiani menjadi sadar bahwa mereka dapat dengan sungguh-sungguh membangun sebuah Gereja lokal Manggarai yang otentik kalau terjadi dalam proses dialog terus menerus dengan kebudayaan-kebudayaan, agama-agama, pengalaman-pengalaman aktual dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik orang Manggarai.


Dalam dialog yang mengedepankan lonto leok, terdapat komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Relasi Manggarai berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah melanda Manggarai dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini, pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja Manggarai mengembangkan relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin memahami Gereja lokal Manggarai dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan konteks mereka.
Konsekuensinya jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung yang sanggup membahasakan kebutuhan real umat. Gereja karenanya tidak berarti singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang berbicara di rumah-rumah Gendang, di kebun-kebun, di depan kantor DPR, di halaman kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus. Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam namaNya, di situ Allah hadir.***

Selengkapnya...

MENJADI GEREJA PEMBEBAS

Permenungan Jelang Tahbisan Uskup Ruteng

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th

Tekanan kolonialisme masa lampau masih terbaca dalam kecemasan-kecemasan orang Manggarai menghadapi tantangan hidup aktual masa kini. Mereka sudah terbiasa menghadapi pengalaman kekerasan, penindasan dan ketidakadilan struktural yang dipaksakan. Dalam situasi seperti ini, mereka sangat mengharapkan terciptanya situasi pembebasan dari keterbelengguan multiwajah. Ketika suara mereka tidak didengarkan oleh penguasa, tatkala hak-hak mereka tak dihiraukan dan mereka tidak sanggup untuk melawan, mereka mengharapkan Gereja tidak berdiam diri. Orang Manggarai rindu memiliki Gereja yang menjadi wakil mereka untuk bersuara menentang penindasan yang telah lama mereka alami. Gereja tidak boleh hanya menjadi penonton yang tidak berpihak pada mereka. Apalagi berkolaborasi dengan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat-umat Manggarai.Gereja yang berdialog adalah Gereja yang aktif, terlibat dalam konteks budaya dan masalah-masalah orang Manggarai.

span class="fullpost">

Berkaitan dengan orientasi menjadi Gereja Pembebas, ada catatan kritis untuk Gereja Keusukupan Ruteng: Pertama, kalau Gereja menyembah mammon yakni: uang dan kuasa, maka sulitlah baginya untuk melaksanakan peran profetis terhadap orang kaya dan berkuasa yang merupakan penindas rakyat Manggarai. Arah praksis pastoral juga akan berubah, Gereja akan merasa aman dengan diakonia karitatif tetapi bukan diakonia sosial, atau dengan pelayanan sosial tapi bukan aksi sosial. Kedua, terdapat dua tugas pelayanan Gereja dalam menghadirkan dirinya di Manggarai, yakni pelayanan keimanan untuk menciptakan rekonsiliasi yang membebaskan dan pelayanan profetis untuk menciptakan konflik yang membebaskan. Ada dialektika antara rekonsiliasi dan konflik dalam kehidupan rakyat Manggarai. Gereja terpanggil untuk menjadi pembawa “hambor” [damai] di tengah rakyat serentak membawa konflik di tengah rasa damai yang palsu.
Ketiga, berhadapan dengan para korban, Gereja mesti mengidentikan dirinya dengan mereka. Identifikasi diri ini bukan merupakan penerimaan pasif atas penderitaan melainkan transformasi yang memampukan melalui mana kekuatan – kekuatan kematian dan kejahatan dikalahkan berkat kuasa kebangkitan. Di sini dituntut dari Gereja sebuah peran ganda, bukan hanya profetis tetapi juga politis. Keempat, untuk merubah situasi ketidakadilan, kita mesti membuat analisis atas seluruh situasi dengan menggunakan pendekatan sistemis yang bermaksud mematahkan monopoli para penguasa dan untuk memberdayakan kaum lemah serta mendorong mereka menemukan jati diri dan martabat sebagai orang bebas. Untuk sampai pada gerakan pembebasan kaum lemah, Gereja harus bekerja sama dengan mereka. Memang di sini butuh kesabaran dari pihak Gereja dan merupakan proses pengosongan diri dari kecenderungan menggandeng pihak - pihak yang kuat dan berkuasa. Pertanyaan yang tersisa ialah “Apakah kita mau menjadikan Gereja kita sebagai sarana Pembebas atau malah menjadi abdi penindas?” Jawaban ada pada kita.***
Selengkapnya...